Mata Kuliah: Modul Gangguan Sistem Gastrointestinal, Hepatobilier dan pankreas

Topik:  Parasit yang hidup dalam Saluran Pencernaan Manusia.

 

Parasit adalah makhluk hidup yang hidup di dalam atau pada permukaan tubuh makhluk hidup lainnya (hospes/inang) untuk mengambil makanannya sebagian atau seluruhnya dari  hospes  atau inangnya. Parasit terbagi menjadi 3 kelompok besar yaitu cacing, protozoa dan arthropoda (termasuk serangga).  Dari ketiga kelompok tersebut cacing yang hidup dalam usus merupakan parasit yang sering ditemukan dan menjadi penyebab gangguan dalam sistem gastrointestinal, hepatobilier dan pankreas.

Kecacingan atau helmintiasis merupakan penyebab gangguan kesehatan di negara negara yang sedang berkembang atau negara yang kurang berkembang.  World Health Organization (WHO) melaporkan  kira kira 1,5 milyard penduduk di seluruh dunia terinfeksi  Soil Transmitted Helminths (STH) atau cacing yang ditularkan melalui tanah, dimana angka tersebut diperkirakan 24 % populasi dunia (WHO, 2018). Prevalensi kecacingan di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan 28 % (Kemenkes, 2013), namun dengan pemberian obat cacing masal pada anak sekolah dasar diperkirakan prevalensinya makin berkurang.

Jenis jenis cacing yang tergolong dalam STH adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis. Beberapa jenis cacing yang inangnya adalah hewan seperti anjing dan kucing juga dapat ditularkan melalui tanah, walaupun tidak menjadi dewasa pada manusia. Masing masing jenis cacing ini mempunyai morfologi dan siklus hidup yang berbeda-beda. Perbedaan dalam siklus hidup, cara infeksi maupun habitatnya dalam tubuh manusia dapat memberikan gejala klinik yang berbeda-beda pula.

Bentuk infektif dari Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura adalah telur infektif, sedangkan bentuk infektif Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Strongyloides stercoralis adalah larva filariform. Telur infektif dapat tertelan bersama bahan makanan yang terkontaminasi ataupun lewat tangan yang tidak dicuci pada saat makan. Larva filariform dapat menginfeksi lewat kulit kaki yang berjalan tanpa alas kaki dan dapat menimbulkan gejala ground itch, yaitu adanya ruam maupun gatal pada kulit. Cacing dewasa yang bersift kronik dapat emnyebabkan anemia hipokrom mikrositer dan eosinophilia. Infeksi cacing tambang sendiri tidak menyebabkan kematian, namun daya tahan tubuh menjadi berkurang dan daya kerja menurun

Cacing Ascaris lumbricoides dalam siklus hidupnya mempunyai siklus paru yang menyebabkan dapat ditemukannya sindrom Loeffler dengan gejala demam, batuk berdarah dan eosinophilia. Necator americanus, Ancylostoma duodenale, dan Strongyloides stercoralis juga mempunyai siklus paru namun biasanya tidak memberikan gejala yang menonjol karena ukurannya yang lebih kecil.

Gejala yang dapat ditimbulkan saat manusia terinfeksi dengan Ascaris lumbricoides berbeda pada stadium hidup cacing yang berbeda. Larva menyebabkan Sindroma Loeffler, sedangkan gejala yang ditimbulkan oleh cacing dewasa biasanya lebih ringan. Kadang penderita mengalami mual, nafsu makan menurun, konstipasi, dan diare. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsobsi sehingga dapat menyebabkan malnutrisi dan penurunan kemampuan kognitif anak. Bila cacing menggumpal dalam usus, dapat terjadi obstruksi usus (Rusmartini, 2009).

Trichuris trichiura mempunyai siklus hidup yang berbeda dengan cacing yang sebelumnya, dimana cacing ini tidak mempunyai siklus paru dan hidup pada usus besar. Gejala yang ditimbulkan penderita yang terinfeksi biasanya ringan. Gejala berat pada anak dapat menimbulkan sindroma disentri dan prolapsus ani/recti (Supali dkk, 2011).

Siklus hidup Strongyloides stercoralis ini kurang lebih seperti cacing tambang yaitu larva filariform menembus kulit. Ada juga siklus tidak langsung yang dapat terjadi yaitu siklus bebas di tanah, cacing berkembang menjadi jantan dan betina kemudian bertelur, menghasilkan larva rabditiform, kemudian menjadi larva filariform, kemudian menembus kulit. Hiperinfeksi juga dapat terjadi yaitu saat larva rabditiform pada usus manusia menjadi larva filariform, menembus mukosa usus halus dan ikut aliran darah. Ada juga yang dikenal dengan auto infeksi, yaitu jika ditemukan larva rabditiform pada perianal, kemudian larva rabditiform berubah menjadi larva filariaform, masuk melalui kapiler darah dan terbawa oleh aliran darah menuju jantung, kemudian dari jantung terbawa ke paru-paru, dan kemudian ke saluran pencernaan (Supali, 2011).

Diagnosis pasti penyakit yang disebabkan oleh cacing yaitu dengan pemeriksaan feses untuk menemukan telur. Dengan demikian penting untuk mengetahui morfologi telur dari masing-masing parasit ini. Telur cacing Ascaris lumbricoides mempunyai bentuk yang khas yaitu mempunyai dinding yang terdiri dari lapisan albuminoid. Telur Ascaris lumbricoides mempunyai beberapa bentuk seperti bentuk dibuahi dan tidak dibuahi (Gambar 1).

Gambar 1 Telur Ascaris lumbricoides

 

 

Telur cacing tambang mempunyai bentuk yang berbeda dengan telur A. lumbricoides, namun memiliki kesamaan dengan telur cacing Strongyloides stercoralis. Telur cacing tambang memiliki bentuk lonjong, dinding tipis, dan mempunyai masa telur (Gambar 2).

 

 

Gambar 2. Telur cacing tambang

 

Telur cacing Trichuris trichiura mempunyai bentuk yang khas yaitu  berbentuk tempayan dengan tonjolan pada kedua kutubnya (Gambar 3). Telur ini menjadi infektif di tanah dengan suhu optimum dalam waktu 3-6 minggu.

 

 

Gambar 3 Telur Trichuris trichiura

 

Pengobatan penyakit cacing ini dapat menggunakan beberapa pilihan obat seperti Pirantel pamoat, Mebendazole maupun Albendazole. Prognosis penyakit kecacingan ini biasanya baik.

 

Referensi:

 

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Angka Prevalensi Cacingan di Indonesia Mencapai 28.12%. Berita Satu . Tersedia dari URL https://www.beritasatu.com/kesehatan/ 319918/ angka-prevalensi-cacingan-di-indonesia-mencapai-2812-persen

 

Rahmawati, Soeyoko, Sumarni S. 2014. Hygiene, sanitation and the soiltransmitted helminths (STH) infection among elementary school students in West Lombok. J Med Sci, Vol 46 (2) : 94-101

 

Safar R. 2009. Parasitologi Kedokteran : Protozoologi, Helmintologi, Entomologi. Yrama Widya. Bandung. Hal 153-74

 

Supali T, Margono S, Abidin SAN. 2011. Nematoda Usus dalam  Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Editor Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Badan Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 5-24

 

WHO. 2016: Soil Transmited Helminth Infection. http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/ fs366/en/